Senin, 04 Maret 2013

Gol Tunggal Gomez Menangkan Bayern

0 komentar


Gol Tunggal Gomez Menangkan Bayern - Bayern Munich menang lagi. Menghadapi Hoffenheim di Rhein-Neckar Arena, Minggu (3/3/2013) malam WIB, Bayern menang tipis 1-0 berkat gol Mario Gomez di babak pertama.

Bayern memang tengah superior. Setelah ditahan imbang Borussia Moenchengladbach 1-1 pada 14 Desember, Bayern melaju tidak terhentikan. Mereka meraih tujuh kemenangan beruntun, termasuk kemenangan atas Hoffenheim ini.

Die Roten tampil dominan atas Hoffenheim. Catatan Soccernet menyebutkan bahwa Bayern setidaknya meraih ball possession sampai 65%. Mereka juga melepaskan 19 tembakan, di mana tujuh di antaranya tepat sasaran.

Hoffenheim sendiri mengawali pertandingan dengan baik. Daniel Williams lebih dulu mendapatkan peluang emas pada menit ke-14. Namun, tendangan kaki kanannya dari jarak dekat masih melebar tipis di samping gawang Tom Starke.

Heurelho Gomes, yang berdiri mengawal gawang Hoffenheim, harus bekerja sedikit lebih keras. Setidaknya, dia melakukan enam penyelamatan sepanjang pertandingan ini, tetapi ia gagal menghalau salah satu tendangan pemain Bayern.

Tendangan tersebut adalah tendangan Mario Gomez yang kemudian berujung menjadi gol. Semua bermula dari umpan yang dilepaskan Jerome Boateng di menit ke-38. Bola kemudian diterima Franck Robery, yang langsung mengarahkannya kepada Gomez. Lewat satu tendangan kaki kiri, bomber internasional Jerman itu pun memasukkan bola ke gawang.

Hoffenheim tidak tinggal diam. Mereka masih memaksakan hasil imbang, apalagi mereka hanya tertinggal satu gol. Beberapa peluang didapat, salah satunya lewat Stephan Schrock. Tetapi, tendangan Schrock masih bisa dihalau oleh Starke. Deputi Manuel Neuer itu memblok bola hingga melebar.

Bayern mendapatkan peluang lewat Bastian Schweinsteiger di menit ke-75. Tetapi, tendangan bebas gelandang bernomor 31 itu masih mengenai tiang gawang.

Sampai wasit meniupkan peluit panjang, skor 1-0 tetap tidak berubah. Bayern mendapatkan tambahan tiga poin lagi.

Bayern kokoh di puncak klasemen dengan koleksi nilai 63, unggul 17 poin atas Borussia Dortmund. Sementara, Hoffenheim tetap berada di urutan 17 dengan koleksi nilai 16.

Susunan Pemain

Hoffenheim: Gomes, Abraham, Johnson, Ochs, Vestergaard, Williams, Weis, Volland (Joselu 70), Usami (Firmino 45), Schrock (Derdiyok 76), De Camargo.

Bayern Munich: Starke, Dante, Boateng, Lahm, Alaba, Ribery, Martinez, Shaqiri (Luis Gustavo 64), Schweinsteiger, Mueller, Gomez (Mandzukic 75).


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baca Juga !

Fantasi CEO ala Profesor Wenger

 

Julukan "profesor" yang disandang Arsene Wenger mulanya datang karena kejeniusannya dalam mengombinasikan keahlian meramu taktik, keberanian menampilkan sepakbola menyerang yang atraktif, kecermatan dalam mempersiapkan tim dengan menggunakan statitistik sampai kepeduliannya pada diet dan nutrisi bagi pemain. Pendeknya: Wenger sebagai tactician.

Kini gelar "profesor" masih dilekatkan pada Wenger, tapi asosiasinya lebih sering merujuk kemahirannya dalam menyeimbangkan neraca keuangan dan mendatangkan keuntungan bagi klub. Pendeknya: Wenger sebagai profesor [honoris causa] di bidang ekonomi sepakbola, sebagaimana para CEO perusahaan-perusahaan besar yang labanya mengkilap kerap mendapatkan gelar kehormatan dari institusi-institusi pendidikan.

Setelah berinvestasi dalam pembangunan stadion baru yang kini bernama Stadion Emirates [mulai ditempati pada 2006], Arsenal dari tahun ke tahun tampil sebagai klub yang sangat mengesankan -- bukan dalam hal prestasi, tapi dalam mengeruk laba. Antara tahun 2004 sampai 2009, misalnya, tim "Gudang Peluru" ini rata-rata menangguk laba sekitar 4,4 miliar poundsterling.

Laba sebesar itu datang bukan hanya dari penambahan jumlah penonton kandang -- Stadion Emirates surplus 22 ribu kursi dibanding Highbury --, tapi juga dari penjualan merchandise, dan terutama dari penjualan pemain (tiap musim selalu ada pemain penting, bahkan kapten tim, yang dijual Wenger ke klub rival), hak siar televisi dan "hadiah" yang didapat dari UEFA untuk setiap kemenangan yang didapat di Liga Champions.

Mereka menjual Nicolas Anelka, Marc Overmars, Emmanuel Petit, Henry, Fabregas, Vieira, Kolo Toure, Robin van Persie, Emmanuel Adebayor, Flamini, Alexander Hleb, Samir Nasri, Song, Ashley Cole sampai Gael Clichy. Kebanyakan dari mereka dijual saat masih dalam usia emas. Dan beberapa di antara mereka bahkan dijual ke klub yang menjadi rival mereka dalam perebutan gelar juara Liga Inggris -- misal: Ashley Cole ke Chelsea, Adebayor-Nasri-Clichy ke Manchester City, Robin van Persie ke United.

Penjualan pemain macam itu bisa dibilang berbanding lurus dengan evolusi Wenger sebagai profesor tactician menjadi profesor (honoris causa) ekonomi sepakbola. Evolusi Wenger itu pula yang membuat target tetap lolos zona Liga Champions jauh lebih utama ketimbang menjuarai Piala FA atau Piala Carling -- tak peduli sudah bertahun-tahun suporter Arsenal tak lagi mencicipi kejayaan. Pemasukan yang masuk ke kas Arsenal di Liga Champions jauh lebih menggiurkan ketimbang "trofi-trofi Mickey Mouse" macam itu.

Inilah yang membuat Arsenal menerima kritik yang bertubi-tubi terkait mentalitas pengelolaan klub. Kenny Dalglsih, dalam salah satu artikel yang ditulisnya di Daily Mail, menyebut penjualan van Persie ke Manchester United seakan sebagai pengakuan bahwa Arsenal ada di bawah level United. Penjualan itu seakan jadi isyarat betapa Arsenal "tak tertarik" untuk mendapatkan trofi Liga Inggris.

Wenger mencoba menepis kritik itu dengan mulai aktif di bursa transfer dengan membeli pemain-pemain jadi, dari mendatangkan Per Mertesecker, Thomas Vermaelen di lini belakang, Mikel Arteta dan Alex Oxlade-Chamberlain di lini tengah sampai Oliver Giroud dan Lukas Podolski di lini depan. Tapi pembelian itu pun tak urung mendapatkan kritikan sebagai panic buying, tanggung dan setengah-setengah.

Maka kekalahan telak 1-3 Arsenal oleh Bayern Muenchen minggu lalu, setelah sebelumnya tersingkir di Piala Carling dan Piala FA serta tersisih dari perebutan gelar juara liga, semakin mempertegas kritik banyak kalangan terhadap mentalitas Wenger dan Arsenal dalam mengarungi kompetisi. Jika Arsenal akhirnya tersingkir di Liga Champions, kritik itu pasti akan makin hebat mengarah ke Wenger dan Arsenal. Akan menjadi bencana besar jika di akhir musim mereka pun tak mampu menembus zona Champions.

Wenger sendiri berdalih bahwa apa yang dilakukannya bersama Arsenal adalah cara paling rasional dalam mengelola klub sepakbola. "Lihatlah. Inggris bangkrut, Eropa bangkrut. Tapi semua orang terus saja berbelanja. Arsenal tidak bangkrut. Itu karena kami menghabiskan dana dengan cara yang lebih bijaksana," ujar Wenger seperti dikutip The Guardian setahun lalu.

Tapi apa sebenarnya yang dimaksud "bijaksana"?

Wenger mungkin paling bijaksana dalam menahkodai sebuah perusahaan sepakbola. Mudah untuk mengatakan betapa yang dilakukan Wenger dengan Arsenal memang lebih sehat ("lebih bijaksana", dalam kosa kata Wenger) ketimbang yang terjadi di Real Madrid, Chelsea, Mancheser City dan United.

"Bijaksana" dalam kosa kata Wenger-ian, tampaknya, lahir dari cara berpikir mengelola sebuah perusahaan, bukan lagi cara berpikir mengelola sebuah klub olahraga yang di dalamnya inheren nilai-nilai klasik mengenai kejayaan, kemenangan, harga diri, kebanggan lokal/komunitas, dll.

Sesungguhnya, apa yang dilakukan Wenger dengan skala yang berbeda-beda juga dilakukan klub-klub lain. Bahkan FC St. Pauli sekali pun, klub yang jadi kultus karena sikap dan padanangan ekonomi-politik suporternya terhadap sepakbola modern, sudah mengalami dilema yang disodorkan sepakbola modern dengan industrialisasinya. Profit adalah paradigma utama sepakbola saat ini. Duit berhamburan di lapangan hijau. Harga tiket makin melambung, gaji dan kontrak pemain makin tinggi, hak siar televisi kian mahal, dll., dkk., etc.

Sorotan kencang terhadap Arsenal ini barangkali karena tidak ada sosok manajer selain Wenger yang sangat artikulatif dalam mengutarakan konsep-konsep dan gagasan klub sebagai perusahaan sepakbola.

Kemampuan Wenger dalam mengartikulasikan ide-idenya itu mungkin sangat meyakinkan, sampai-sampai (sejauh yang saya tahu) tak terdengar perlawanan ideologis berskala massif dari para fans Arsenal. Bandingkan dengan perlawanan para fans Manchester United terhadap Glazer Family -- sampai-sampai fans tradisional mereka bahkan mendirikan klub tandingan, FC United of Manchester. Atau bagaimana para fans Liverpool menggelar kampanye menentang Gillet beberapa tahun lampau.

Inilah yang tampaknya akan menjadi warisan terbesar Wenger dalam sepakbola modern. Dia sudah melampaui level sebagai seorang manajer. Jika di Indonesia masih sangat kepayahan untuk menginisiasi posisi manager-coach, apa yang dilakukan Wenger malah sudah melangkah lebih jauh lagi. Sampai batas-batas tertentu, dia yang kelak bisa disebut sebagai sang pemula peran baru dalam sepakbola: manajer-CEO.

Inilah awal dari evolusi Football Club [FC] menjadi Football Corporate [Manchester United sudah menghilangkan kata "Football Club" di jersey mereka pada musim 1998 saat mereka hendak masuk ke lantai bursa]. Evolusi ini akan membawa berita-berita sepakbola tak lagi tampil di halaman/rubrik olahraga, tapi halaman/rubrik ekonomi-bisnis-finansial.

Jika sudah demikian, game Fantasy Manager pun mungkin akan berevolusi menjadi Fantasy CEO. Dan subjek-subjek yang harus diisi oleh para penikmat game itu pun bukan hanya prediksi starting line-up, tapi juga prediksi jumlah penonton di stadion dan prediksi rating penonton di televisi.
 

Senju Blog Copyright © 2013 | Admin By